Sabtu, 30 Januari 2010

Komedi Politik

Sungguh menggelikan polah sebagian politisi kita. Mengumumkan ke publik bahwa dirinya akan mundur dari ja- batannya di DPR, namun di tengah jalan berubah pikiran. Langkah politisi ini awalnya dipuji sebagai terobosan yang bermartabat: ketika di partainya saja kurang dipercaya (gagal terpilih jadi ketua), apa gunanya lagi menjabat posisi dengan kepercayaan publik yang lebih luas.

Karena langkah seorang politisi bisa memunculkan beragam pemaknaan, tidak adil bila penafsiran kita harus selalu berkonotasi serius, hanya karena politik diandaikan sebagai wilayah serius. Peristiwa politik yang sebenarnya bermuatan komedi tak perlu dibaca dan disikapi serius. Karena, bisa jadi, yang diperbuat politisi itu sekadar upayanya "menghibur" publik.

Diakui atau tidak, selain menduduki posisi publik, para politisi kita sekaligus merangkap komedian politik. Ruang-ruang publik pun bertambah fungsinya: sebagai arena penuh topeng komedi. Dan, atraksi politik atau kebijakan yang dibuatnya tidak berbeda dengan yang diciptakan para komedian; sehingga semakin transparan persamaan antara politisi dan komedian.

Karena itu, sah-sah saja bila kita memosisikan pembatalan niat politisi di atas bukan seperti peristiwa politik pada umumnya; bukan melihat peristiwa itu sebagai hal yang serius—misalnya karena hadirnya manuver tertentu di belakangnya—sehingga tidak memberi publik ruang untuk tertawa.

Berbeda dengan kacamata pengamat, kita bisa memandang peristiwa di atas sebagai bentuk komedi, parodi atau satire politik. Dengan kejenakaannya, peristiwa tersebut justru tampil tidak sedangkal komedi-komedi yang belakangan ini marak di stasiun televisi swasta. Sebab, komedian yang melibatkan politisi konsisten memberikan keseriusan berpikir kepada publik. Inilah yang membedakannya dengan komedi biasa; selain melepaskan ketegangan, komedi politik berupaya melibatkan penontonnya untuk berpikir.

Peristiwa politik yang kita lihat sebagai peristiwa sehari-hari yang normal, wajar, dan umum, sebenarnya merupakan bentuk praktik politisasi politisi terhadap humor, parodi atau satire, meski topiknya dibatasi hanya dunia politik. Hadirnya komedi-komedi politik, menghadirkan pula di belakangnya praktik dramaturgi oleh para politisi berupa politik komedi, politik parodi atau politik satire. Hal ini sengaja diperbuat politisi untuk tujuan menghibur publik. Komedian profesional?

Meski pekerjaannya tersaingi, para komedian profesional ternama sekalipun belum berniat untuk mengalahkan kekonsistenan kerja politisi-komedian (atau komedian-politisi?). Kenyataan keseharian yang hadir di depan para komedian profesional belum banyak yang diangkat secara konsisten sebagai bahan lelucon. Kalaupun ada yang mengangkat dunia politik, komedian profesional kita belum secerdas atau sepeka politisi-komedian.

Dengan banyaknya bahan lelucon di sekitarnya, perlu ditanyakan bila ada komedian profesional yang mengeluh akibat leluconnya disaingi kompetitornya dari Senayan; mengapa leluconnya tidak lebih baik (baca: selucu) daripada polah anggota DPR. Mulai dari konflik internal antarpolitisi, persaingan antarfraksi politik, kebijakan pemerintah yang membingungkan, hingga dunia kehidupan politisi atau pejabat publik; semua ini bahan-bahan yang layak diolah sebagai hiburan sekaligus kritikan.Jadi, setiap akrobat politik politisi adalah bahan lelucon yang akan menyegarkan publik.

Hal ini persis dengan salah satu resep yang diberikan Gene Perret, kepala penulis lawakan Bob Hope, pemenang tiga kali Emmy Award. Dalam kaidah- kaidah penting menyajikan lawakan, menurut Perret, lawakan berisikan serangan kepada otoritas atau penguasa, selain harus merefleksikan kebenaran, melonggarkan tekanan, mengejutkan, melibatkan penonton, juga mesti disajikan secara jenaka.

Dengan kata lain, resep Perret itu ingin mengatakan bahwa di balik "kenakalan" leluconnya seorang komedian juga mampu menyampaikan kritik kebenaran. Barangkali inilah sebabnya komedian di AS bisa dipandang sebagai aktor yang mampu menghidupkan suasana keseriusan perpolitikan di sana.

Meng-"komedi"-kan penguasa bahkan disebut sebagai salah satu ciri khas sebuah bangsa yang gemar memperolok diri, membuat satire, sebagai bagian dari budaya masyarakat. Humor politik dianggap seperti makanan sehari-hari mereka. Lalu, mengapa komedian profesional kita belum tampak antusias meniati dirinya sebagai juru kritik yang nakal atas polah politisi, seperti sejawatnya di AS?

Alasan keamanan? Pada era keterbukaan politik seperti sekarang, argumentasi itu tak berlaku lagi. Komedian AS, seperti Conan O’Brien, Craig Kilborn, David Letterman, Jay Leno, Jimmy Kimmel, Jon Stewart, atau Tina Fey, "pekerjaan pokok"-nya memang membulan-bulani para penguasa dengan lelucon. Sasaran nomor satu mereka: Presiden Amerika Serikat, toh sejauh ini mereka juga masih hidup!

Kurang tepat pula mengaitkan belum seriusnya komedian profesional kita untuk mengkhususkan komedi politik yang cerdas dengan kejenuhan publik terhadap isu politik; sama kurang tepatnya pendapat yang mengaitkan tingkat kecerdasan publik kita dalam memahami kejenakaan makna polah wakil mereka di DPR. Tidak tepat pula alasan mereka yang mengatakan respons publik kita lebih serius bila menanggapi isu-isu politik.

Bila benar publik telah jenuh dengan berita-berita politik, komedian justru bisa tampil sebagai sosok berjasa; mengembalikan ingatan dan nurani publik kepada persoalan nyata yang harus mereka hadapi. Kesuksesan tayangan parodi politik "Republik BBM" di salah satu televisi swasta membuktikan bahwa tidak benar masyarakat kita menjauhi topik politik.

Komedian profesional seharusnya malu dengan kecekatan para politisi yang berhasil mengisi kegamangan mereka. Para politikus mampu mengomedikan langkah politisnya untuk menghibur publik; saat yang sama, mampu memolitisasi komedi untuk menarik perhatian dan dukungan publik. Dengan berpura-pura mundur, tetapi ingin meraih simpati publik; berpura-pura sakit, agar terbebas dari pemeriksaan kejaksaan; berpura-pura dongkol digosipkan dengan selebritas, tetapi aslinya senang karena popularitasnya ikut terdongkrak; atau, mengajak berhemat listrik, yang sebenarnya ini tidak lain parodi hidup boros kelompok yang mengampanyekannya.

Di negeri yang subur dengan politisi yang ingin terkenal (sehingga berjungkir balik mengomedikan politik dan memolitikkan komedi), terdengar aneh bila ada komedian profesional kehabisan ide. Harusnya mereka lebih peka mengolah bahan dibandingkan komedian asing, yang mungkin saja suatu ketika tertarik membuat lelucon tentang Indonesia, republik yang memang bikin rakyatnya terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata (dan sebaliknya: menangis, meneteskan air mata seraya terpingkal-pingkal) akibat polah politisi atau pejabatnya.
Institut Analisis Propaganda

Komedi Politik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown